REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Asma Nadia Seperti baru kemarin, saya mengantarnya masuk sekolah dasar. Hari-hari di mana setiap jam istirahat, kami ...
REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Asma Nadia
Seperti baru kemarin, saya mengantarnya masuk sekolah dasar. Hari-hari di mana setiap jam istirahat, kami akan sama-sama mencari tempat untuk duduk dan membaca, diselingi menyantap kudapan, sampai bel masuk kembali berdentang.
Saya melakukannya bukan karena putri sulung saya tak mau ditinggal. Bukan karena sepasang matanya mengiba agar saya tetap berada di dekatnya. Alhamdulillah, pada usia enam tahun, ananda mandiri dan bisa menikmati masa-masa awal bersekolah. Tak ada yang meminta, tak ada yang memaksa. Saya lakukan semata untuk mengurangi luasnya waktu di mana putri saya mulai memiliki kegiatan sendiri tanpa saya menjadi bagian di dalamnya.
Padahal sebelumnya, saya bersamanya nyaris setiap saat. Mengetahui apa saja yang dilakukannya. Menjadi teman bicaranya yang utama. Memahami apa yang sedang dirasakannya.
Agar waktu yang berperan penting dalam pertumbuhan ananda, yang tak bisa saya cegah ikut 'membesarkan'-nya, tidak membentangkan jarak antara kami, saya berusaha tetap menjadi bagian dari hari-harinya di sekolah dan bukan hanya mengantar jemput. Kegiatan membaca bersama selama jam istirahat itu berlangsung setidaknya sebulan hingga pihak sekolah terlihat keberatan, dan tentu saya pahami.
Saya tak lagi datang pada jam istirahat. Namun, menyadari saya tak lagi berada pada lingkar penuh hidupnya, sempat menimbulkan perasaan kehilangan. Bukan tak memahami bahwa anak-anak kelak akan memiliki kehidupan dan keluarga sendiri, melainkan sebelum masa itu tiba, satu 'kompetisi' bagi setiap orang tua, telah lama dimulai. 'Perlombaan' antara orang tua dan lingkungan yang terbentuk sekitar anak terkait kedekatan hati.
Seorang sopir taksi pernah bercerita bahwa anaknya yang baru berusia sepuluh tahun tidak mau bermain lagi dengannya. Setiap kali pulang dan memergoki anaknya sedang bermain dengan teman-teman, si anak akan lari menjauh dan hanya mau diajak bermain bersama jika bapaknya mengiming-imingi dengan seribu rupiah sebagai 'upah'.
Beberapa sahabat curhat tentang anak-anak mereka yang sejak baligh tak lagi suka jalan bersama orang tua. Apalagi untuk dicium atau mencium pipi ayah bunda. Dan, bukan hanya di depan umum, bentuk kemesraan anak dan orang tua itu entah bagaimana ikut hilang dari rumah.
Seorang ibu lain menangis saat berbagi kesedihan. Meski sudah mengasuh dan membesarkan anak-anak dengan tangan sendiri, tanpa pembantu rumah tangga, ketika anak-anak dewasa, dia dilupakan. Menurutnya, tiga anaknya cenderung menghindari dan mencari cara untuk tidak berurusan dengan ibu mereka. Padahal, ia tak pernah meminta apa-apa.
Berbagai cerita itu membunyikan alarm keras di hati. Sebuah pekerjaan rumah bagi saya dan ayah anak-anak, di luar membesarkan, mendidik, menanamkan kecintaan kepada jalan kebaikan dan sumber kebaikan itu sendiri, ada perkara lain. Mampukah kami menjaga agar ruang khusus di hati ananda yang sebelumnya terisi oleh ayah dan bunda, tak tersingkir dan terisi pihak-pihak lain? Teman, sahabat, pacar?
Bisakah anak-anak tetap merasa membutuhkan kegiatan bersama keluarga walau mereka sudah mampu mencari kesibukan, tak seperti dulu, sudah mahir mengganti channel televisi, menenggelamkan diri dengan ipod, aplikasi ponsel, dan berbagai sosial media.
Dapatkah kami orang tua tetap menjadi teman bercerita dan berbagi perasaan ketika tahun demi tahun melesat? Menjadi saksi dan berada di sisi anak-anak saat sedih, ketika merasa diremehkan di sekolah, mendapat teguran dari guru, atau ketika mereka mulai menyukai seseorang dan patah hati?
Berbagai gelombang perasaan baru-baru ini menyergap saya. Membangkitkan kenangan akan hari-hari yang terlewat. Terpicu dua hal, tahun ajaran baru yang belum lama dimulai dan hari ketika sulung saya belum lama ini memasuki usia tujuh belas tahun.
Lama sebelum itu, sering saya mengkhawatirkan akan seperti apa momen sweet seventeen ini. Akankah terampas dari genggaman keluarga karena gagal mempertahankan kedekatan hati?
Jawaban dari pertanyaan itu hadir dalam bentuk seulas senyum cerah dari putri saya. Wajahnya semringah, dengan tradisi yang sebenarnya hampir sama setiap tahun. Pukul dua belas malam saat detik bergulir dan hari berpindah, kecupan dari keluarga, dan sebuah kue sederhana, bedanya kini ada angka tujuh belas di atasnya.
Hanya kami berempat, ayah bunda dan adiknya menemani. Meski kegiatan ekskul dan teman-temannya banyak, tak ada pesta mewah yang menghabiskan jutaan rupiah. Gadis kecil saya menjelma dewasa. Alhamdulillah.
Tentu saja, pekerjaan rumah sebagai orang tua belum selesai. Akan tetapi, jika boleh melantunkan doa, mewakili harapan sesama ayah bunda, semoga meski waktu menerbangkan ribuan hari, selamanya keluarga menjadi oase kebahagiaan di hati anak-anak kita
Seperti baru kemarin, saya mengantarnya masuk sekolah dasar. Hari-hari di mana setiap jam istirahat, kami akan sama-sama mencari tempat untuk duduk dan membaca, diselingi menyantap kudapan, sampai bel masuk kembali berdentang.
Saya melakukannya bukan karena putri sulung saya tak mau ditinggal. Bukan karena sepasang matanya mengiba agar saya tetap berada di dekatnya. Alhamdulillah, pada usia enam tahun, ananda mandiri dan bisa menikmati masa-masa awal bersekolah. Tak ada yang meminta, tak ada yang memaksa. Saya lakukan semata untuk mengurangi luasnya waktu di mana putri saya mulai memiliki kegiatan sendiri tanpa saya menjadi bagian di dalamnya.
Padahal sebelumnya, saya bersamanya nyaris setiap saat. Mengetahui apa saja yang dilakukannya. Menjadi teman bicaranya yang utama. Memahami apa yang sedang dirasakannya.
Agar waktu yang berperan penting dalam pertumbuhan ananda, yang tak bisa saya cegah ikut 'membesarkan'-nya, tidak membentangkan jarak antara kami, saya berusaha tetap menjadi bagian dari hari-harinya di sekolah dan bukan hanya mengantar jemput. Kegiatan membaca bersama selama jam istirahat itu berlangsung setidaknya sebulan hingga pihak sekolah terlihat keberatan, dan tentu saya pahami.
Saya tak lagi datang pada jam istirahat. Namun, menyadari saya tak lagi berada pada lingkar penuh hidupnya, sempat menimbulkan perasaan kehilangan. Bukan tak memahami bahwa anak-anak kelak akan memiliki kehidupan dan keluarga sendiri, melainkan sebelum masa itu tiba, satu 'kompetisi' bagi setiap orang tua, telah lama dimulai. 'Perlombaan' antara orang tua dan lingkungan yang terbentuk sekitar anak terkait kedekatan hati.
Seorang sopir taksi pernah bercerita bahwa anaknya yang baru berusia sepuluh tahun tidak mau bermain lagi dengannya. Setiap kali pulang dan memergoki anaknya sedang bermain dengan teman-teman, si anak akan lari menjauh dan hanya mau diajak bermain bersama jika bapaknya mengiming-imingi dengan seribu rupiah sebagai 'upah'.
Beberapa sahabat curhat tentang anak-anak mereka yang sejak baligh tak lagi suka jalan bersama orang tua. Apalagi untuk dicium atau mencium pipi ayah bunda. Dan, bukan hanya di depan umum, bentuk kemesraan anak dan orang tua itu entah bagaimana ikut hilang dari rumah.
Seorang ibu lain menangis saat berbagi kesedihan. Meski sudah mengasuh dan membesarkan anak-anak dengan tangan sendiri, tanpa pembantu rumah tangga, ketika anak-anak dewasa, dia dilupakan. Menurutnya, tiga anaknya cenderung menghindari dan mencari cara untuk tidak berurusan dengan ibu mereka. Padahal, ia tak pernah meminta apa-apa.
Berbagai cerita itu membunyikan alarm keras di hati. Sebuah pekerjaan rumah bagi saya dan ayah anak-anak, di luar membesarkan, mendidik, menanamkan kecintaan kepada jalan kebaikan dan sumber kebaikan itu sendiri, ada perkara lain. Mampukah kami menjaga agar ruang khusus di hati ananda yang sebelumnya terisi oleh ayah dan bunda, tak tersingkir dan terisi pihak-pihak lain? Teman, sahabat, pacar?
Bisakah anak-anak tetap merasa membutuhkan kegiatan bersama keluarga walau mereka sudah mampu mencari kesibukan, tak seperti dulu, sudah mahir mengganti channel televisi, menenggelamkan diri dengan ipod, aplikasi ponsel, dan berbagai sosial media.
Dapatkah kami orang tua tetap menjadi teman bercerita dan berbagi perasaan ketika tahun demi tahun melesat? Menjadi saksi dan berada di sisi anak-anak saat sedih, ketika merasa diremehkan di sekolah, mendapat teguran dari guru, atau ketika mereka mulai menyukai seseorang dan patah hati?
Berbagai gelombang perasaan baru-baru ini menyergap saya. Membangkitkan kenangan akan hari-hari yang terlewat. Terpicu dua hal, tahun ajaran baru yang belum lama dimulai dan hari ketika sulung saya belum lama ini memasuki usia tujuh belas tahun.
Lama sebelum itu, sering saya mengkhawatirkan akan seperti apa momen sweet seventeen ini. Akankah terampas dari genggaman keluarga karena gagal mempertahankan kedekatan hati?
Jawaban dari pertanyaan itu hadir dalam bentuk seulas senyum cerah dari putri saya. Wajahnya semringah, dengan tradisi yang sebenarnya hampir sama setiap tahun. Pukul dua belas malam saat detik bergulir dan hari berpindah, kecupan dari keluarga, dan sebuah kue sederhana, bedanya kini ada angka tujuh belas di atasnya.
Hanya kami berempat, ayah bunda dan adiknya menemani. Meski kegiatan ekskul dan teman-temannya banyak, tak ada pesta mewah yang menghabiskan jutaan rupiah. Gadis kecil saya menjelma dewasa. Alhamdulillah.
Tentu saja, pekerjaan rumah sebagai orang tua belum selesai. Akan tetapi, jika boleh melantunkan doa, mewakili harapan sesama ayah bunda, semoga meski waktu menerbangkan ribuan hari, selamanya keluarga menjadi oase kebahagiaan di hati anak-anak kita
Redaktur : M Irwan Ariefyanto |
COMMENTS