REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Asma Nadia Saya belajar kembali menata syukur dari Bunda Ida. Seorang perempuan yang baru beberapa tahun saya kenal, n...
REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Asma Nadia
Saya belajar kembali menata syukur dari Bunda Ida. Seorang perempuan yang baru beberapa tahun saya kenal, namun cura-han kasih dan perhatiannya terasa seperti ibu sendiri.
Pada 2011, kami bertemu, saat saya melakukan perjalanan ke Eropa tanpa mengikuti travel agent, hanya berdua dengan Mami yang saat itu mengenakan kursi roda. Seorang teman memperkenalkan saya dengan Bunda Ida yang dengan ramah membuka pintu rumahnya, bahkan menjemput kami di Stasiun Kereta Amsterdam Central.
Hanya pertemuan singkat, tak sampai 2 x 24 jam, tapi saya terusik dengan rasa syukurnya yang luar biasa. Tak percaya betapa di balik kegagahannya berjalan mengiringi langkah kami, bahkan menyetir sendiri kendaraannya saat mengantar saya dan Mami ke Zaanseschans dan Volendam, Bunda Ida telah bertarung bertahun-tahun dengan sel-sel kanker yang menggerogoti tubuhnya.
Berbagai prosedur pengobatan termasuk kemoterapi sudah dijalani. Saat perjumpaan kami, beliau belum terbebas dari kanker. Namun, tak ada rasa nyeri yang membuang senyum dari bibirnya. Atau, raut kelelahan yang membuat kami sungkan. Sebaliknya, senyum yang memancarkan ketenangan hampir tak pernah lepas dari wajah Bunda Ida.
Yang membuat saya kembali terusik adalah dalam kondisi demikian tidak hanya menjemput dan mengantar kami ke sana kemari, saat malam tiba, beliau bahkan mengorbankan kamar utama untuk kami tempati. Semata memuliakan tamu. Padahal, beliau sendiri lebih dari layak mendapat tempat istirahat yang nyaman bagi tubuhnya yang kurang sehat.
Rasa syukur menghilangkan keluhan. Rasa syukur juga yang mengalirkan ketenangan dan kekuatan, termasuk untuk berbuat bagi orang lain. Perjumpaan singkat yang kemudian diulangi belum lama ini, ketika saya dan keluarga berkunjung ke Amsterdam, mengantar Adam, putra bungsu kami, dan beberapa anak dari Villa 2000 mengikuti Soccer Camp di Ajax dan membangkitkan kembali kesadaran akan keharusan menambah rasa syukur yang saya miliki.
Dengan kesehatan yang jauh lebih baik dari Bunda Ida, saya belum banyak menampilkan kebaikan bagi orang lain, masih kurang memuliakan tamu, dan meski banyak sahabat atau orang-orang yang mengenal saya sering melihat saya tersenyum, ada kalanya wajah ini tampak gusar, terganggu, atau tak selalu menunjukkan keramahan yang jujur.
Ada hal lain yang membuat saya lagi-lagi merenung. Pertemuan kedua menyentakkan saya pada sesuatu yang sebelumnya terlewat.
Bunda Ida dan suaminya ternyata belum dikaruniai keturunan. Tetapi, keadaan ini tak mengurangi rasa syukur mereka kepada Allah SWT.
Pasangan suami istri ini rajin memperhatikan tak hanya keponakan, tetapi juga mencurahkan kasih sayang mereka pada anak-anak lain, sejak dulu, hingga banyak di antara anak-anak tersebut kini sudah dewasa dan menjadi `orang'.
Mendadak air mata membayang. Ada sejuk yang menelusup hati, saat istighfar diam- diam bergema. Allah, betapa masih jauh hamba dari rasa syukur.
Padahal, dua ananda telah Engkau berikan. Menatap anak-anak saat tertidur pulas, membangkitkan lagi ucapan hamdalah yang sering tenggelam oleh keluh kesah saat menghadapi protes dan kenakalan kecil mereka.
Teringat kenalan yang mengeluh panjang lebar soal bahan bakar minyak (BBM) yang naik, padahal dia sendiri tergolong orang yang berkecukupan. Atau, keluhan masalah keluarga. Mertua yang dianggap tidak pengertian. Saudara ipar atau tetangga yang menyebalkan. Pekerjaan yang membuat capek sementara penghasilan tak seberapa. Jodoh yang tak kunjung datang. Anak-anak yang `dianggap' tak berprestasi dan membanggakan di sekolah, pasangan yang dianggap tak gesit mencari nafkah, dan banyak lagi.
Kemana rasa syukur, padahal saat ini sedang hangat-hangatnya kita mendekap Ramadhan? Benar, belum lama ini masyarakat diuji dengan kenaikan harga BBM yang menimbulkan efek domino. Tapi, semoga kita tak lupa tetap menggenggam syukur sebab pada saat menjelang puasa saudara-saudara kita di Aceh dilanda gempa yang memakan tak hanya harta, melainkan juga korban jiwa. Mari langitkan syukur dengan belajar dari banyak sosok di sekitar kita, mereka yang tak lelah mengucap hamdalah walau masalah bukan tak datang menerpa.
Saya belajar kembali menata syukur dari Bunda Ida. Seorang perempuan yang baru beberapa tahun saya kenal, namun cura-han kasih dan perhatiannya terasa seperti ibu sendiri.
Pada 2011, kami bertemu, saat saya melakukan perjalanan ke Eropa tanpa mengikuti travel agent, hanya berdua dengan Mami yang saat itu mengenakan kursi roda. Seorang teman memperkenalkan saya dengan Bunda Ida yang dengan ramah membuka pintu rumahnya, bahkan menjemput kami di Stasiun Kereta Amsterdam Central.
Hanya pertemuan singkat, tak sampai 2 x 24 jam, tapi saya terusik dengan rasa syukurnya yang luar biasa. Tak percaya betapa di balik kegagahannya berjalan mengiringi langkah kami, bahkan menyetir sendiri kendaraannya saat mengantar saya dan Mami ke Zaanseschans dan Volendam, Bunda Ida telah bertarung bertahun-tahun dengan sel-sel kanker yang menggerogoti tubuhnya.
Berbagai prosedur pengobatan termasuk kemoterapi sudah dijalani. Saat perjumpaan kami, beliau belum terbebas dari kanker. Namun, tak ada rasa nyeri yang membuang senyum dari bibirnya. Atau, raut kelelahan yang membuat kami sungkan. Sebaliknya, senyum yang memancarkan ketenangan hampir tak pernah lepas dari wajah Bunda Ida.
Yang membuat saya kembali terusik adalah dalam kondisi demikian tidak hanya menjemput dan mengantar kami ke sana kemari, saat malam tiba, beliau bahkan mengorbankan kamar utama untuk kami tempati. Semata memuliakan tamu. Padahal, beliau sendiri lebih dari layak mendapat tempat istirahat yang nyaman bagi tubuhnya yang kurang sehat.
Rasa syukur menghilangkan keluhan. Rasa syukur juga yang mengalirkan ketenangan dan kekuatan, termasuk untuk berbuat bagi orang lain. Perjumpaan singkat yang kemudian diulangi belum lama ini, ketika saya dan keluarga berkunjung ke Amsterdam, mengantar Adam, putra bungsu kami, dan beberapa anak dari Villa 2000 mengikuti Soccer Camp di Ajax dan membangkitkan kembali kesadaran akan keharusan menambah rasa syukur yang saya miliki.
Dengan kesehatan yang jauh lebih baik dari Bunda Ida, saya belum banyak menampilkan kebaikan bagi orang lain, masih kurang memuliakan tamu, dan meski banyak sahabat atau orang-orang yang mengenal saya sering melihat saya tersenyum, ada kalanya wajah ini tampak gusar, terganggu, atau tak selalu menunjukkan keramahan yang jujur.
Ada hal lain yang membuat saya lagi-lagi merenung. Pertemuan kedua menyentakkan saya pada sesuatu yang sebelumnya terlewat.
Bunda Ida dan suaminya ternyata belum dikaruniai keturunan. Tetapi, keadaan ini tak mengurangi rasa syukur mereka kepada Allah SWT.
Pasangan suami istri ini rajin memperhatikan tak hanya keponakan, tetapi juga mencurahkan kasih sayang mereka pada anak-anak lain, sejak dulu, hingga banyak di antara anak-anak tersebut kini sudah dewasa dan menjadi `orang'.
Mendadak air mata membayang. Ada sejuk yang menelusup hati, saat istighfar diam- diam bergema. Allah, betapa masih jauh hamba dari rasa syukur.
Padahal, dua ananda telah Engkau berikan. Menatap anak-anak saat tertidur pulas, membangkitkan lagi ucapan hamdalah yang sering tenggelam oleh keluh kesah saat menghadapi protes dan kenakalan kecil mereka.
Teringat kenalan yang mengeluh panjang lebar soal bahan bakar minyak (BBM) yang naik, padahal dia sendiri tergolong orang yang berkecukupan. Atau, keluhan masalah keluarga. Mertua yang dianggap tidak pengertian. Saudara ipar atau tetangga yang menyebalkan. Pekerjaan yang membuat capek sementara penghasilan tak seberapa. Jodoh yang tak kunjung datang. Anak-anak yang `dianggap' tak berprestasi dan membanggakan di sekolah, pasangan yang dianggap tak gesit mencari nafkah, dan banyak lagi.
Kemana rasa syukur, padahal saat ini sedang hangat-hangatnya kita mendekap Ramadhan? Benar, belum lama ini masyarakat diuji dengan kenaikan harga BBM yang menimbulkan efek domino. Tapi, semoga kita tak lupa tetap menggenggam syukur sebab pada saat menjelang puasa saudara-saudara kita di Aceh dilanda gempa yang memakan tak hanya harta, melainkan juga korban jiwa. Mari langitkan syukur dengan belajar dari banyak sosok di sekitar kita, mereka yang tak lelah mengucap hamdalah walau masalah bukan tak datang menerpa.
COMMENTS